Scroll untuk baca artikel
Bisnis

Pengusaha Lebih Takut Suku Bunga Naik Ketimbang Rupiah Ambrol, Ini Alasannya

29
×

Pengusaha Lebih Takut Suku Bunga Naik Ketimbang Rupiah Ambrol, Ini Alasannya

Sebarkan artikel ini

Detik Tegal Ketua Asosiasi dan Penghuni Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menilai dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) lebih memberatkan dibandingkan pelemahan nilai tukar rupiah. Terhadap dolar AS.

Pernyataan tersebut merespons kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan atau BI menjadi 6,25 persen pada April 2024.

“Jadi menurut saya dampak suku bunga lebih besar dibandingkan dampak penguatan dolar,” kata Budi kepada wartawan di Kementerian Perindustrian di Jakarta.

Budie menjelaskan, kenaikan suku bunga BI akan berdampak besar terhadap bisnis ritel. Pertama, suku bunga pinjaman bank akan naik.

Kedua, biaya sewa supermarket dan cicilan juga akan meningkat pasca penyesuaian BI rate. Situasi ini tentu akan menempatkan pengusaha pada pusat ancaman ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

“Kalau traffic (penjualan) bagus dan ramai, bisa sangat merugikan karena masih bisa menyerap kadar campuran. Tapi yang saya khawatirkan, traffic (penjualan) juga akan menurun.” Dia menjelaskan.

Di sisi lain, sebenarnya efek penguatan dolar AS tidak dirasakan secara langsung oleh para pelaku dunia usaha. Selain itu, penguatan dolar AS akan mendorong wisatawan asing berkunjung dan membeli berbagai produk UMKM di Indonesia.

“Hitungannya (wisatawan) daripada ke Vietnam lebih baik ke Indonesia karena harganya murah dan dolar menguat.

Karena kondisi tersebut, badan usaha terus memfasilitasi pengeluaran kas perusahaan. Pendekatan ini digunakan untuk memastikan arus keuangan perusahaan tetap sehat.

“Kita juga sedang mencari supplier seperti ini, cari supplier baru lebih mudah. ​​Dulu belinya mahal, mungkin hari ini kita cari supplier baru biar lebih murah.”

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuan (BI) menjadi 6,25 persen. Selain itu, suku bunga deposito naik 25 basis poin menjadi 5,5 persen, dan suku bunga pinjaman naik 25 basis poin menjadi 7 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan kenaikan suku bunga tersebut dilakukan dalam rangka memperkuat nilai tukar rupee terhadap kemungkinan mitigasi risiko global, serta sebagai langkah preventif dan antisipatif agar inflasi tetap berada dalam target 2,51 persen pada tahun 2024 dan 2025.

Wartawan: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Pernyataan Gubernur Federal Reserve Jerome Powell usai rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bersifat sentimental atas apresiasi rupee terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis (2/5/2024).

Mengutip Antara, rupiah terhadap dolar AS menguat 34 poin atau 0,21 persen menjadi Rp 16.225 per dolar AS dibandingkan penutupan sebelumnya sebesar 16.259 per dolar AS.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan ada dua poin yang bisa diambil dari pernyataan Powell: The Fed tidak mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuan AS pada tahun 2024.

“Dan The Fed menunda pemotongannya karena belum ada kepastian inflasi AS akan turun hingga 2 persen saat ini,” ujarnya kepada ANTARA.

Ia menambahkan, lemahnya pertumbuhan telah membawa kelegaan bagi pasar dan dapat menimbulkan sentimen positif terhadap aset-aset berisiko. Sementara itu, pengumuman penundaan kenaikan suku bunga telah menimbulkan kekhawatiran pasar bahwa The Fed mungkin tidak akan mengambil keputusan seperti itu pada tahun 2024.

“Hasil The Fed mungkin bisa menghentikan pelemahan rupiah terhadap dolar AS, tapi penguatannya mungkin tidak sekuat itu,” ujarnya.

Statistik ekonomi AS yang dirilis tadi malam juga memberikan hasil yang beragam. Ada item yang lebih baik dari perkiraan seperti data Pengolahan Data Otomatis (ADP) Non Farm Payrolls 192 ribu dibandingkan perkiraan 179 ribu. Ia juga memiliki perkiraan berikut, seperti data Manajer Indeks (PMI) Supply Management Institute (ISM), yaitu 49,2 dari perkiraan 50,0.

Dilihat dari faktor domestik, data inflasi bulan April diperkirakan akan memberikan sentimen positif bagi rupee jika hasilnya tetap pada kisaran 3,0 persen. “Hari ini potensi konsolidasi menuju Rp16.200 (per dolar AS) dengan potensi perjuangan menuju Rp16.280-Rp16.300 per dolar AS,” kata Arison.

Sebelumnya, rupee terhadap dolar AS terus melemah pasca Idul Fitri. Rupee saat ini berada di kisaran 16.200 per dolar AS, dibandingkan dengan stabil di 15.600 per dolar AS.

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juli Budi Winantya menjelaskan, tidak ada alasan untuk khawatir terhadap pelemahan rupee. Dia mengatakan, depresiasi rupee tidak separah krisis keuangan tahun 2008 maupun krisis moneter tahun 1998.

Nilai tukar rupiah hanya melemah 5,07 persen year on year (ytd) pada 23 April 2024. Sedangkan pada masa resesi 2028, nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga 35 persen. Faktanya, saat krisis keuangan tahun 1998, nilai tukar rupiah anjlok 197 persen.

“Depresiasinya (eupiah) sekarang hanya 5,07% dibandingkan krisis sebelumnya, ketika rupee terdepresiasi tajam,” kata Juli dalam acara pelatihan jurnalis di Samosir, Sumut.

Selain itu, inflasi juga tetap terjaga di tengah tren pelemahan nilai tukar rupiah. BI mencatat inflasi mencapai 3,05 persen secara tahunan (yy) sejak Maret 2024.

Selama resesi tahun 2008, inflasi naik menjadi 12,1 persen. Faktanya, inflasi pada krisis keuangan tahun 1998 mencapai 82,4 persen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *