Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Sering Mengalami Déjà Vu? Ini Penjelasan Ilmiah dari Para Ahli

19
×

Sering Mengalami Déjà Vu? Ini Penjelasan Ilmiah dari Para Ahli

Sebarkan artikel ini

Detik Tegal, Jakarta – Meski ini merupakan pengalaman pertama Anda, pernahkah Anda merasa pernah mengalami sesuatu sebelumnya? Fenomena ini dikenal sebagai déjà vu dan telah membingungkan banyak orang selama berabad-abad.

Déjà vu, yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti “sudah terlihat”, digambarkan sebagai rasa keakraban yang kuat dan tidak dapat dijelaskan dengan situasi baru yang dirasakan.

“Déjà vu terjadi ketika otak menggunakan ‘pemrosesan cepat’ dan ‘pemrosesan lambat’ dari sensasi dan ingatan langsung untuk mengintegrasikan ingatan masa lalu dan pengalaman saat ini,” kata James Giordano, profesor neurologi di Georgetown University Medical Center. , Amerika.

Proses ini melibatkan banyak jaringan otak, termasuk area korteks sensorik yang terlibat dalam penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan lain-lain; jaringan hipokampus dan lobus temporal yang terlibat dalam memori; sistem limbik dan area korteks prefrontal yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Mengkoordinasikan jaringan-jaringan ini bisa jadi sulit dan terkadang tidak terkoordinasi dengan baik. Meski terbilang baru, namun bisa menimbulkan rasa déjà vu jika Anda merasa pernah mengalami percakapan atau pengalaman serupa sebelumnya.

Dalam laporan dari Bustle, berikut 7 alasan mengapa Anda merasakan deja vu.

1. Otak tidak sinkron

Menurut Giordano, déjà vu terjadi ketika dua jalur memori di otak menjadi tidak sinkron.

Jalur “cepat” merespons dengan kuat terhadap stimulus baru, sedangkan proses “lambat” membutuhkan waktu beberapa sepersekian detik untuk diproses. Ketidaksesuaian waktu ini menimbulkan kebingungan di otak sehingga apa yang kita alami saat ini seolah-olah pernah terjadi sebelumnya.

Giordano menjelaskan, “Jaringan di lobus temporal dan korteks frontal menafsirkan perbedaan ini sebagai ingatan yang terjadi secara real time, sehingga nampaknya kita ‘mengalami kembali’ sesuatu yang baru.”

Sebuah studi tahun 2013 di jurnal Frontiers in Psychology mendukung penjelasan ini, menunjukkan bahwa déjà vu disebabkan oleh konflik ingatan di otak. Otak mencoba mencari tahu ingatan mana yang nyata dan mana yang tidak, sehingga menimbulkan perasaan déjà vu.

 

 

Déjà vu, perasaan aneh yang familier mengenai situasi baru, sering kali muncul tanpa peringatan dan berlangsung dalam waktu singkat. Menurut ahli saraf dan ahli kesehatan holistik Lee Winters, fenomena ini menyulitkan penelitian klinis terhadap populasi sehat.

Winter sependapat dengan Giordano bahwa déjà vu ada hubungannya dengan cara otak memproses ingatan dan ketidakseimbangan yang kadang terjadi di otak. Dia menyebutnya kombinasi kesalahan memori dan “kegagalan impuls neurologis”.

Winter menjelaskan bahwa déjà vu dapat terjadi ketika otak menemukan kesamaan dalam situasi baru dan menstimulasi korteks serebral, tetapi tidak pada hipokampus, yang membantu mengingat detail memori yang lebih spesifik. Hal ini dapat menimbulkan sensasi aneh seperti setengah mengingat, atau Anda tidak dapat menjelaskannya meskipun Anda pernah mengalaminya sebelumnya.

“Déjà vu lebih mungkin terjadi jika Anda menemukan kesamaan dengan menstimulasi korteks ginjal tetapi tidak mengaktifkan hipokampus, membantu Anda mengingat detail memori yang lebih spesifik,” kata Winter. “Jadi deja vu adalah perasaan aneh karena mengingat sebagian, atau merasa seperti Anda pernah mengalaminya sebelumnya dan tidak dapat menjelaskannya.”

Beberapa penderita epilepsi dilaporkan mengalami déjà vu sesaat sebelum kejang. Hal ini terutama terjadi jika kejang dimulai di medial temporal lobe (MTL), area otak yang berperan penting dalam memori dan peristiwa jangka panjang.

Dr. Winter menjelaskan bahwa déjà vu kemungkinan besar disebabkan oleh impuls listrik bermasalah yang disebabkan oleh perubahan neuron di korteks ginjal.

Namun, bukan berarti setiap orang yang mengalami déjà vu harus segera menemui dokter spesialis saraf. Bahkan orang normal pun bisa mengalami déjà vu.

Namun, bagi penderita epilepsi, déjà vu merupakan tanda peringatan bahwa kejang akan segera terjadi.

4. Pemuda

Rupanya sudah banyak yang mengalami fenomena déjà vu, di mana seseorang merasa seolah-olah pernah mengalami keadaan saat ini di masa lalu. Menurut Giordano, sekitar 60 hingga 70 persen orang mengalaminya, dan jumlahnya mungkin jauh lebih tinggi. Déjà vu lebih sering terjadi pada orang dewasa muda, biasanya antara usia 15 dan 25 tahun.

Meskipun kemungkinan mengalami déjà vu menurun seiring bertambahnya usia, Giordano merekomendasikan untuk menikmatinya saat hal itu terjadi. Déjà vu adalah fenomena luar biasa yang tidak boleh diabaikan.

Ada hubungan menarik antara stres dan déjà vu. Semakin tinggi tingkat stres seseorang, semakin besar pula laporan mereka mengalami déjà vu. Hal ini menjelaskan fakta bahwa dalam kondisi stres yang hebat atau saat memproses banyak informasi pada saat yang bersamaan, otak lebih rentan terhadap “kegagalan” dan kesulitan mencocokkan ingatan dengan kenyataan.

Akibatnya, informasi baru yang diterima otak akan terasa familier, meski sebelumnya tidak diingat. Hal inilah yang menimbulkan perasaan déjà vu setelahnya.

6. Pengaruh dari kehidupan sebelumnya

Meskipun seorang ahli saraf kemungkinan besar tidak akan setuju, namun bagi mereka yang percaya pada kehidupan lampau, déjà vu bisa menjadi tanda dari kehidupan lampau.

“Di luar ilmu saraf, psikolog memiliki gagasan berbeda tentang déjà vu,” kata Winters. “Beberapa parapsikolog mengaitkannya dengan pengalaman hidup masa lalu. Seiring berkembangnya teknik pencitraan otak, pemahaman kita tentang déjà vu akan meningkat.”

Penelitian ilmiah mengenai déjà vu masih berlangsung, dan berbagai teori berupaya menjelaskan fenomena tersebut. Para ahli masih belum mencapai konsensus mengenai penyebabnya, dan diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami mekanisme di balik déjà vu.

Déjà vu, perasaan keakraban yang muncul pada situasi baru, seringkali dianggap sebagai fenomena aneh dan membingungkan. Namun menurut Giordano, deja vu sebenarnya merupakan pertanda baik.

“Déjà vu sebenarnya merupakan pertanda baik dan tampaknya mencerminkan kemampuan otak untuk memproses ingatan pada tingkat dan kecepatan berbeda,” kata Giordano.

Fenomena ini menunjukkan bahwa otak kita mampu bekerja dengan cara yang tidak biasa meski terjadi “ketidaksesuaian” atau “gangguan”. Kemampuan otak untuk memproses informasi dan menciptakan sensasi yang familier bahkan dalam situasi baru menunjukkan kompleksitas dan keajaiban organ ini.

Daripada deja vu yang terasa aneh atau meresahkan, kita bisa melihatnya sebagai bukti keagungan otak manusia. Déjà vu adalah pengingat bahwa otak kita terus bekerja dan menciptakan pengalaman unik bahkan di momen yang tampak biasa saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *